Senin, 16 Agustus 2010

"NIAGARA" SEMAKIN DEKAT

Cerpen ini saya tulis untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Sang cerpenis dan VIXXIO
dan buku yang saya inginka adalah LARASATI karya Pramoedya Ananta Toer


Aku tidak mengerti mengapa akhirnya mereka membuat keputusan ekstrim dengan mencampakan aku ke Asrama penyandang cacat itu. Apa mereka sudah seperti orang-orang yang selalu memandangku dari ujung ke ujung dengan ujung matanya? Meremehkan.
Setelah delapan jam perjalanan menggunakan kapal feri lalu disambung menaiki mini bus, aku sampai di tempat tujuan, Kabupaten Kampar.

“Sebentar lagi kita akan sampai, Ra. Semoga kau senang di tempat barumu ini.” Ucap kakakku, Lita. Ya, setelah kepergian orang tuaku, dialah yang menjadi kakak sekaligus kepala keluarga di rumah. Semua tunduk kepadanya, termasuk usul memasukkan aku ke asrama ini juga tercetus dari mulutnya. Tak ada yang mempertahankan atau sekedar memberi opsi tidak setuju. Semenjak itu aku membuat kesimpulan, mereka pun tak menginginkan aku yang cacat ini.

Pintu gerbang yang besar menyambut kedatanganku. Tempat ini indah, sekilas kekesalanku menguap. Aku lupa bahwa beberapa saat yang lalu aku sangat tidak menginginkan berada di tempat ini.

“Assalammualaikum.” Sapa seorang wanita cantik berjilbab putih.
“Walaikumsalam. Kami dari Batam dan ini adik saya Ira yang ingin tinggal dan bersekolah di sini.”
“Hey! Aku tidak ingin, tapi kalian yang menginginkan aku di sini.” Tentu saja itu tidak nyata aku ucapkan. Hanya teriakan di dalam hati saja. Lalu memandang kakaku kesal.
“Saya Aisyah, pembina di asrama ini. Mari saya antar ke dalam sembari melihat tempat tinggal barumu Ira”

Dengan sangat ramah, dia mengajak aku dan kak Lita berkeliling sebentar. Menunjukkan sekolah baruku, asrama, lapangan olah raga, aula, mesjid, perpustakaan, ruang teater, ruang melukis, bahkan dapur khusus siswa praktek. Aku terkejut takjub, semua tempat dan sarana penuh sesak oleh siswa dengan segala aktifitasnya. Dan mereka sama sepertiku, cacat.

*
Aku marah ketika kak Lita berpamitan pulang. Dia benar-benar meninggalkanku sendiri di sini. Sedih menyergapku, lalu bergantian dengan amarah.

Tiga hari sudah aku di sini, teman pertamaku adalah Rara, dia berasal dari Dumai. Kecacatan fisiknya adalah tidak mempunyai tangan, sementara aku lumpuh. Aku dan Rara menjadi teman dekat, apa yang tidak bisa dilakukan Rara, aku akan membantu, begitu juga sebaliknya. Kami menjadi teman simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Kami berdua satu kamar. Tentu saja tidak hanya berdua, bergabung dengan tujuh belas orang lainnya.

*
Hari ini adalah hari pertama sekolahku di bangku SMA. Dan baru kali ini aku merasa tidak dipandang aneh. Jam pertama diisi oleh seorang guru muda bernama Ibu Sarah, dia adalah wali kelasku selama satu tahun ini. Perkenalan pagi ini sangat mengesankan. Penuh semangat dan motivasi. Seketika aku menjadi manusia sempurna disekeliling oang-orang yang siap melahirkan kesempurnaan. Seketika rasa minderku hilang, berulang kali aku mengacungkan telunjuk sekedar untuk bertanya atau menjawab pertanyaan. Begitu juga dengan yang lainnya.

“Belum tentu orang yang memiliki kekurangan tidak bisa melakukan apa-apa. Sekarang tulis apapun yang ingin kalian capai sebanyak-banyaknya. Tembus tembok penghalang untuk meraih mimpi. Lakukan. SEKARANG!” Tiba-tiba suara bu Sarah mengelegar penuh semangat. Lima detik pertama kami hanya tercengang diam. Lalu perlahan-lahan mulai mencerna perintah bu Sarah.

”Jangan ragu anak-anak, bermimpilah, berusaha untuk mewujudkannya, setelah itu bertawakal. Tuhan tidak melarang orang-orang seperti kalian untuk menjadi seperti Sir Isaac Newton, seorang yang banyak memberikan kontribusi dibidang fisika dan mekanika. Ludwig van Beethoven, seorang komposer yang memiliki kontribusi di dunia musik yang sangat monumental. Mereka adalah orang-orang jenius yang memiliki latar belakang yang unik. Newton mengidap penyakit Skizofrenia, orang yang mengalami gangguan emosi, pikiran dan perilaku. Sedankan Ludwig, ia justru mengubah karya-karya masterpeace-nya saat ia benar-benar tuli akibat pukulan dari ayahnya.”

Tanganku semakin lincah menulis segala mimpi yang berterbangan di kepalaku. Aku menangkapnya dan menulisnya dalam tulisan nyata. Setidaknya mimpi-mimpi itu telah nyata aku tuangkan dalam tulisan yang nyata. Urusan bagaimana mencapainya, entahlah, aku sendiripun tidak tahu. Apa mungkin orang sepertiku bisa menjadi koki terkenal? sedangkan memasak saja aku tidak pernah, kecuali mie instan tentunya. Mendapatkan beasiswa sekolah di Eropa, menguasai tiga bahasa dunia, berlibur ke Niagara, air terjun terpopuler di dunia, mendirikan rumah tumpang untuk orang-orang cacat sepertiku. Lalu aku berhenti menulis, seketika merasa tulisanku ini seperti mimpi yang konyol.

”Bu, benarkah ada kakak tingkat kita di sini yang tuna netra namun mampu menghafal Al-Quran?” Tiba-tiba Sarah bertanya.
”Benar. Dia tuna netra, namun mampu menghafal Al-Quran hingga khatam. Orang normal, untuk membacanya saja masih banyak yang belum bisa.”

Bagaikan seperti diberi aba-aba, semua kepala kembali tertunduk dan berkutat dengan angan yang telah melompat keluar dari zonanya. Begitupun aku. Jawaban bu Sarah bagaikan obat bagi orang yang tidak berani bermimpi sekalipun. Aku seperti dibawa keluar dari penjara pesimis dan tidak percaya diri yang selama ini mengukungku.

*
Sudah delapan bulan aku disini. Aku mulai merajut mimpi-mimpiku yang pernah kutulis dulu. Aku mengambil ektrakulikuler memasak yang difasilitasi lengkap oleh yayasan. Disini setiap bulan diadakan lomba dari memasak hingga menyajikannya. Dibulan pertama, aku berhasil membuat tim juri memuntahkan masakanku. Dibulan kedua, aku selangkah lebih maju. Tim juri tidak memuntahkan masakanku, namun matanya yang menyipit ketika mencicipinya, seolah mengatakan ”Rasa masakanmu lebih buruk dari ikan bakar yang hangus terbakar.” Dibulan ketiga tim juri tidak lagi memuntakhan masakanku atau menyipit ketika mencicipinya. Mereka bertindak lebih ektrim, terang-terangan mengatakan bahwa bakatku tidak disini, dan menyuruhku untuk mencari ekskul lain yang lebih sesuai. Ini membuatku sedikit tergoncang. Mimpi yang sudah terlanjur tercatat itu seolah-olah benar-benar membuatku konyol. Aku mengalami patah semangat lagi. lima bulan lamanya aku tak pernah lagi meramaikan lomba koki-kokian itu. Aku seperti anak baru yang menginjakkan kaki di asrama ini. Lesu dan tanpa aktifitas. Hari-hariku habis dengan meratapi nasib. Sampai akhirnya Rara menegurku. Memberikan secarik kertas, yang aku baca sekilas isinya sepeti sebuah resep.

”Apa ini?” Aku bertanya tanpa berpaling kearahnya
”Kau harus coba resep itu, bulan depan jurinya adalah seorang koki dari Cina. Itu adalah resep masakan handalannya. Kau harus coba. Entah mengapa kali ini aku yakin kau mampu meraciknya menjadi makanan yang pas untuk lidah orang Sumatera. Jadikan mirip tapi tak sama. Aku siap membantumu.” Rara mencoba memberi semangat. Dan seperti di sihir, aku tersenyum untuk ide cemerlangnya tersebut, lupa akan semangat yang sudah patah berkeping-keping beberapa detik yang lalu.

*
Aku duduk dengan tengang didampingi Rara. Hari itu datang juga, dan sekarang masakanku sudah tersaji dengan apiknya menunggu giliran dicicipi koki dari Cina itu. Aku merasa sudah melakukan sesuatu yang paling baik. Dalam sejarah hidupku, ini lah satu-satunya hal yang paling maksimal yang pernah aku lakukan. Sekarang aku tinggal bertawakal memohon hasil yang baik juga.

Koki itu telah berdiri tepat di depan mejaku yang terhidang masakan Nasi Bambu Hunan, lengkap dengan bambu sebagai pengganti piring. Matanya yang sipit semakin sipit melihat hidangan dimejaku. Ini membuatku terpental karena pernah merasa ditatap seperti itu.

Tanpa ba bi bu, ia mencicipi masakanku. Mengunyahnya perlahan lalu menelannya. Aku sampai ikut menelan ludah ketika koki itu menelan makanannya. Tak puas disuapan pertama, ia mencicipinya lagi hingga tiga kali. Suasana hatiku semakin tak menentu. Apakah makananku hambar sehingga ia harus berulang kali untuk memastikan rasa dari masakanku itu? Entahlah, yang pasti aku sudah tertunduk tak berdaya.

Koki itu akhirnya mengatakan sesuatu padaku, tentunya dengan bahasanya. Ingatkah kau akan impianku untuk bisa menguasai tiga bahasa? Ya, disekolahku menyediakan juga pendidikan ini, dan salah satu bahasa yang aku ambil adalah bahasa mandarin. Akhirnya terjadi obrolan yang panjang antara aku dan koki itu yang ternyanya bernama Jian. Dia tak segan-segan memuji masakanku, aku sampai dibuat tersipu malu karena senang. Tak diduga ternyata semua orang menatapku, namun kali ini bukan dengan ujung matanya. Mereka menatapku dengan sorotan takjub. Tak terasa meleleh juga air mataku. Aku merasa hidupku perlahan-lahan penuh arti dan berarti setelah sekian lama kuselimuti dengan kesia-siaan.

*
Seperti biasanya bu Sarah memasuki kelas dengan menaburkan sejuta semangat terlebih dahulu. Kalimat penyemangat hari ini yang ditulis di papan tulis adalah:
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh)
”Hari ini ibu punya berita gembira buat kalian semua dan khususnya buat salah seorang teman kita.” Bu Sarah mengancungkan selembar amplop. Perlahan-lahan ia menuju meja Ani, tidak, ia melewatinya. Mungkin kemeja Rara, tidak juga, ia melewatinya, dan sekarang berhenti tepat disebelah mejaku dan meletakkan amplop berita gembira itu diatasnya.

Perlahan aku buka isi amplop itu. Sama sekali tak tergambarkan olehku kebahagiaan apa yang dimaksud bu Sarah. Seketika aku megernyitkan dahi, masih tak mengerti akan kertas yang sudah aku baca hingga dua kali. Tidak, aku bukan tidak mengerti, lebih tepatnya aku tidak percaya. Ini adalah sebuah voucher untuk mengikuti lomba memasak tingkat Nasional di Jakarta. Dan jika aku berhasil masuk babak selanjutnya, aku akan mendapatkan tiket bersaing di Cina. Jika lolos, aku akan mengikuti tour ke New York. Itu artinya Niagara sudah semakin dekat.

Anganku sudah melambung terlalu jauh, padahal lomba di Jakarta itu masih tiga bulan lagi, namun anganku sudah sampai di New York, Niagara. Aku sama sekali tidak merasa konyol, motivasi dipapan tulis lekat kubawa bersama hati yang sudah membucah bahagia. Aku merasa semakin dekat dengan impian-impianku yang pernah kutulis tanpa kutahu bagaimana cara mengapainya. Lalu aku bersyukur, berterimakasih kepada kakak-kakakku yang telah membuat keputusan ekstrim itu justru menjadi indah akhirnya. Mereka tidak pernah meninggalkanku, justru akulah yang meninggalkan mereka.

Batam, 13 Agustus 2010

2 komentar:

Unknown mengatakan...

ok dicatat dulu. makasih ya.

Vixxio mengatakan...

Makasih ya udah ikutan lombanya...